pEdE ato EGoiS
Pendapat para ahli yang diilhami kenyataan menyimpulkan
bahwa rasa percaya diri atau sering diistilahkan dengan
'pede' merupakan kualitas personal yang dibutuhkan.
Dengan merasa pede berarti kita sudah memulai perjalanan
hidup yang berlandaskan pada keunggulan-diri, arah kiblat
(direction) yang sudah kita tentukan, fokus hidup yang telah
kita pilih, keputusan hidup yang telah kita ambil dan
kemudian membuat kita merasa punya hak untuk
mendapatkan apa yang benar-benar kita inginkan. Kekuatan
pede juga membuat kita yakin bahwa tantangan apapun
yang menghadang masih berada dalam kapasitas kita untuk
diselesaikan.
Tetapi dalam praktek, kata pede sudah mengalami 'overused'
dan tidak jarang didefinisikan secara kabur antara pede
yang kita butuhkan dan pede yang seharusnya tidak kita
miliki (penyimpangan). Orang sering salah mengalamatkan
penilaian antara pede dengan ego-centered (egoisme),
menang sendiri atau merasa benar sendiri. Padahal kalau
kita telusuri sampai ke akar, perbedaan antara pede yang
menyimpang dan pede yang lurus (self confidence) bukan
karena persoalan kadar melainkan murni berbeda di tingkat
sumber motif. Artinya, baik praktek perilaku, sifat, dan
sikap egois bukanlah karena kadar rasa percaya diri yang
terlalu kuat melainkan justru karena kurang dari kadar yang
dibutuhkan dan akhirnya menyimpang
Motif
Pede yang menyimpang berangkat dari sumber motif berupa
perasaan yang merasa kurang (feeling of lack) secara
berlebihan (excessive). Ketika orang membangun asumsi
dasar tentang dirinya bahwa ia tidak memiliki kemampuan
potensial yang cukup untuk diolah menjadi keunggulan
guna mengalahkan tantangan atau meraih apa yang benarbenar
diinginkan, maka perasaan tersebut pada kadar yang
terus dibiarkan akan menggumpal bersama keyakinan
bahwa untuk mendapatkan seseuatu tidak ada jalan lain lagi
kecuali mengambil dari luar. Keyakinan demikian akan
menghasilkan praktek yang bertabrakan dengan kepentingan
orang lain yang memiliki keyakinan serupa. Di level
internal, keyakinan demikian sering membuat orang m
idak punya alasan untuk menghargai dirinya secara positif,
misalnya saja munculnya perasaan Self-laziness atau "The I
cannot attitude".
Pede yang yang menyimpang (cth: ego-centered, dll) juga
berangkat dari sumber perasaan yang merasa takut secara
berlebihan (feeling of fear). Asumsi personal yang sering
dipakai adalah ketika kita mulai merasa bahwa sumber
keamanan (penyelesaian masalah) berada di luar diri dan
sangat terbatas jumlahnya sehingga sedikit saja tersenggol
oleh kepentingan atau keinginan orang lain akan membuat
kita merasa sulit memaafkan orang tersebut seumur hidup.
Kita menjadi cepat tersinggung dengan letupan amarah yang
tidak terkontrol. Rasa takut yang negatif juga sering
membuat pagar mental berupa ketakutan menghadapi
tantangan yang merupakan risiko hidup. Kedua perasaan
itulah yang kemudian menghasilkan kesimpulan rasa rendah
diri (inferioritas) yang bisa ditampilkan dalam bentuk
perilaku, sifat, atau sikap secara aggressive atau submissive.
Orang yang pede dalam arti 'self confidence' bukanlah orang
yang tidak memiliki rasa takut atau rasa kurang tetapi ia
memiliki kemampuan bagaimana menguasainya (self
mastery) agar tetap berada dalam norma kadar yang bisa
dikendalikan. Asumsi dasar yang digunakan berangkat dari
perasaan memiliki kemampuan (self-sufficient) untuk
mengatasi tantangan dan merealisasikan apa yang
diinginkan. Rasa Percaya diri seperti inilah yang sebenarnya
kita butuhkan. Bedanya lagi, pede yang terakhir adalah
murni berupa pencapaian kualitas hidup yang diraih
seseorang melalui proses usaha, sementara pede yang
menyimpang bisa kita katakan sebagai limbah yang berarti
untuk mencapainya tidak diperlukan proses atau usaha pun.
Kompas
Di dalam diri kita sebenarnya sudah diciptakan kompas
(patokan) yang dapat membedakan antara pede yang
meyimpang dan pede yang benar-benar kita butuhkan, yaitu:
1. Perasaan (Emotional)
2. Hati (Spiritual)
3. Akal (Intellectual)
Ketiga kompas di atas adalah anugerah (kemampuan
potensial). Agar bisa bekerja membantu kita dibutuhkan
syarat yaitu menciptakan usaha untuk mencerdaskannya
secara terus-menerus.
Perasaan adalah perangkat internal untuk merasakan impuls
atau stimuli (godaan & tawaran) yang dapat membedakan
bad dan good. Perasaan tidak memiliki mata tetapi lebih
banyak memiliki telinga, 'pendengaran' sehingga ketika
sensitivitasnya tajam (dicerdaskan) akan membuat orang
langsung bisa merasakan mana pede yang good
(confidence) di antara pede yang bad (egoism) meskipun
tidak kelihatan.
Hati berfungsi untuk memaknai kebenaran hukum alam
Iptek
Harun Yahya
Islami
Karir
Kehidupan
Keluarga
Kesehatan
Komputer
Makanan
Properti
Psikologi
Remaja
Wanita
yang sudah diformalkan atau yang belum. Meskipun
manusia bisa meng-elaborasi kebenaran menjadi sekian
bentuk sesuai kepentingan masing-masing, tetapi hatilah
yang akan berbicara dengan 'suara hati kecil'. Dilihat dari
sebutannya saja sudah bisa ditebak mengapa kita jarang
mendengarkannya. Sudah lokasinya di dalam, bentuknya
kecil selain itu suaranya pun kecil. Kalau tidak dicerdaskan
akan membuat telinga kita (perasaan) sulit mendengarkan
suara hati apalagi penglihatan.
Akal berfungsi untuk menalar antara materi yang tepat
(correct) dan yang tidak tepat (incorrect). Akal memiliki
banyak penglihatan sehingga dikatakan 'the window', pintu
exit-permit yang bisa menyumbangkan muatan perasaan
atau keyakinan. Patut diakui di antara penyebab
penyimpangan adalah adanya pengetahuan oleh akal yang
tidak bisa menghasilkan pemahaman personal secara
definitive antara rasa percaya diri dan egoisme. Pengetahuan
yang rancau, abstrak, dan berada pada level umum sulit
mendorong kita pada keputusan hidup yang definitif.
Walhasil kita berperilaku egois karena egois yang kita
pahami adalah egois dalam pengertian rasa percaya diri
menurut kita.
Ketiga kompas internal di atas dapat bekerja secara
proporsional (saling mendukung-melengkapi) apabila usaha
yang kita jalankan dalam rangka mencerdaskan tidak terjadi
anak-emas dan anak tiri atau anak yatim. Pengalaman
mengajarkan, perlakuan dikotomis atas kompas internal di
atas melahirkan sifat, watak dan perilaku yang kontradiktif
dan pincang. Ada orang yang sebagian waktunya digunakan
berada di tempat ibadah dengan khusuk tetapi giliran punya
persoalan air dengan tetangga perasaannya tidak berfungsi
secara proporsional.
Beberapa Saran
Penyimpangan adalah persoalan manusiawi dan normal
tetapi yang sering bikin abnormal adalah kebablasan yang
berkelanjutan dan tidak kita perbaiki. Beberapa materi
pembelajaran berikut dapat kita jadikan acuan untuk
mempertebal rasa percaya diri agar tidak menyimpang ke
praktek yang tidak diinginkan:
1. Kebiasaan
Memiliki kebiasaan untuk mencerdaskan pikiran, perasaan,
dan hati adalah kebutuhan mutlak. Tanpa dicerdaskan tidak
berarti stabil sebab impuls dan stimuli dunia terus berubah
di mana kalau kita tidak diiringi dengan perubahan diri akan
mudah terjebak. Pikiran yang dicerdaskan dengan
pengetahuan akan memperbaiki sudut pandang yang akan
menjadi sumber rasa percaya diri. Perasaan yang
dicerdaskan akan memperbaiki pemahaman 'merasakan' apa
yang terjadi pada diri sendiri, orang lain dan dunia (wilayah
kita). Hati yang dicerdaskan dengan kebiasaan memaknai
akan mempertebal keyakinan bahwa semua yang kita
lakukan baik atau buruk, kecil atau besar pada akhirnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar